IMPIAN dan Cita-cita tertinggi seluruh orang untuk mampu sekolah ke jenjang pendidikan resmi paling tinggi pas ini yakni S3, atau doktoral. Untuk capai gelarnya mampu doktor jikalau berasal dari dalam negeri, mampu pula PhD (philosophy of doctor) jikalau lulusan luar negeri. Dan Gelar doktor lain tetap banyak, bergantung universitas dan jurusan yang diikuti.
Sebagian orang sebetulnya telah sesuai rekam jejak akademik. Lulus sarjana S1, pasca sarjana S2, lantas Banyak Doktor S3. Dengan perolehan nilai akademik bagus, tinggi, mampu cum laude, summa cumlaude, atau lebih-lebih magna cumlaude. Artinya menjadi jenjang pendidikan bawaannya orang pandai secara akademik, jalur dosen, peneliti, akademisi, dan sejenisnya.
Diluar pendidikan formal, adalah gelar kehormatan doktor honoris causa sebagai pemberian perguruan tinggi kepada tokoh yang mumpuni di bidang tertentu. Maka kita kerap mendapatkan penulisan nama seseorang dengan gelar DR dan Dr, pastinya ini adalah penghormatan bagi seseorang untuk mempertanggung jawabkan gelar tersebut.
Dalam buku Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), penulisan gelar secara intens disinggung, lebih-lebih disertai lebih dari satu semisal penulisan yang benar. Gelar DR tunjukkan gelar kehormatan doktor honoris causa. Gelar tersebut diberikan perguruan tinggi kepada tokoh yang mumpuni di bidang tertentu.
Sementara itu, gelar Dr ialah singkatan berasal dari doktor. Gelar ini adalah gelar kesarjanaan tertinggi yang diberikan perguruan tinggi kepada seorang sarjana yang telah menulis dan menjaga disertasinya. Ini merujuk terhadap gelar kesarjanaan yang telah ditempuh seseorang, yakni strata tiga (S-3).
Tak kalah menarik adalah terlihat pertanyaan adalah “susah payah sekolah S3 untuk apa ?”
Ya, itulah pertanyaan yang kerap terlihat dikarenakan selesaikan studi s3 sebetulnya tidak mudah. Dengan tugas jurnal, makalah, penterjemahan, proposal yang berjenjang berasal dari pengajuan judul, pra kualifikasi, kualifikasi, proposal, presentasi alat ukur, mencari data, presentasi hasil, hingga bagian akhir ujian tertutup dan ujian terbuka. Tampak kasat mata sepertinya urut dan mudah. Namun di balik itu, revisi berbolak balik revisi, dapat membuat mahasiswa menjadi terasa bodoh, tak berdaya dan pada akhirnya menyerah.
Ada banyak kisah mahasiswa dalam selesaikan studinya, ada yang mengundurkan diri berasal dari perguruan tinggi lain dikarenakan masa studi melampaui standar, lantas ikuti perkuliahan doktoral lagi di daerah lain. Ada yang mampu selesaikan di daerah lain, ada ada juga yang hingga detik akhir masa studi deadline, hampir habis, ternyata tugas-tugas tidak terselesaikan. Maka gugur lagi studinya, bermakna dua kali meniti program studi doktor dan gagal capai gelar tersebut. Jadi, lebih berasal dari 10 tahun menjadi percuma dan terbuang percuma seluruh pengorbanan.
Jadi mengapa kita perlu kuliah hingga S3 atau doktor, bagi aku sendiri hidup hanya sekali, masa rela mampu doktor saja tidak bisa. Jika secara fisik dan usia tetap ada yang lebih tua, lebih kurang nilai dan prestasi akademis, juga lebih kurang ekonominya berasal dari kita nyatanya mampu doktor.
Dengan profesi sebagai guru honorer di SMK swasta dan dosen tidak senantiasa PTS, Alhamdulillah dikala pandemi covid19 tanggal 23 Desember 2020 aku mampu menjaga disertasi ” Strategi Mutu dan Daya Saing Perguruan Tinggi Swasta Dalam Rangka Meningkatkan Keunggulan Bersaing Berkelanjutan (studi di Universitas Berbasis IT di Bandung Jawa Barat).
Menjadi sebuah pemahaman dan keyakinan penulis juga menyarikan serta mengutip sambutan Rektor UII, jikalau menjadi seorang doktor :
Pertama. Bagi aku sebagai seorang muslim, menuntut pengetahuan adalah perlu hukumnya. Dlam menuntut , pengetahuan Rasulullah pun bersabada; “Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-gurumu, serta berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu.” (HR Tabrani).
Menjadi sebuah keyakinan jikalau orang-orang yang membawa derajat yang paling tinggi di sisi Allah ialah orang yang beriman dan berilmu. Sebagaimana dalam surat Al Mujadilah ayat 11. Allah Ta’ala berfirman : “Allah dapat meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi pengetahuan lebih dari satu derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“
Kedua. Menjadi doktor adalah nikmat yang perlu disyukuri, dikarenakan tidak seluruh yang mengambil alih dokotr mampu menyelesikannya denga berbagai ragam alasan penyebabnya. Maka tanpa Izin allah dan pemberian seluruh pihak, untuk menjadi doktor hanya menjadi suatu hal imajinasi. Dalam penelitian Litalien et al (2015), di Amerika Utara tingkat kegagalan studi doktor diperkirakan capai 40-50%. Selanjutnya Johnson et al., (2020) di Australia sebelum pandemi covid19 melanada, kurang lebih 20% mahasiswa program doktor tidak mampu menyelesikan studinya. Lalu, dikala pandemi melanda banyak mahasiswa menghadapi persoalan pendanaan akut. Sebanyak 45% berasal dari 1200 responden punya kemungkinan menghentikan studi hingga akhir tahun ini.
Ketiga. Doktor adalah kaum elit di negeri ini. Datanya lebih dari satu besar doktor berafiliasi dengan lembaga pendidikan tinggi. Menurut data mutahir di Pangkalan Data Perguruan Tinggi tunjukkan bahwa berasal dari 296.040 dosen, hanya 42.825 atau 14,46% yang berpendidikan doktor.
Keempat. Doktor sebagai ulul albab dan al-rasikhuna fi al-ilmi. Konsep pertama adalah ulul albab, orang yang akalnya berlapis-lapis (QS Ali Imran: 190-191). Ulul albab secara bhs berasal berasal dari dua kata: ulu dan al-albab. Ulu bermakna ‘yang mempunyai’, sedang al albab membawa banyak ragam arti. Kata ulul albab terlihat sebanyak 16 kali dalam Alquran. Dalam terjemahan Indonesia, arti yang paling kerap digunakan adalah ‘akal’. Karenanya, ulul albab kerap diambil kesimpulan dengan ‘yang membawa akal’ atau ‘orang yang berakal’. Al-albab bersifat jamak dan berasal berasal dari al-lubb. Bentuk jamak ini mengindikasikan bahwa ulul albab adalah orang yang punya otak berlapis-lapis dengan kata lain otak yang tajam.
Ulul albab membawa dua misi: berzikir dan berpikir. Berzikir diambil kesimpulan secara luas, tidak hanya secara vertikal transendental, tetapi juga horizontal sosial. Peduli dengan situasi bangsa dan negara, juga mampu masuk ke dalam zikir sosial ini. Bukankah zikir bermakna ingat dan ingat berkenaan dengan kepedulian? Orang yang tidak acuhkan tidak dapat ingat dengan realitas yang lebih-lebih ada di sekelilingnya.
Misi berpikir melingkupi dua hal: fenomena alam dan fenomena sosial. Inilah kajian riset, juga yang dijalankan secara istikamah oleh para doktor. Riset terhadap intinya adalah mengutarakan “pesan tersembungi Allah” yang terselip di banyak fenomena alam dan sosial. Ilmu yang didapatkan mampu kita anggap sebagai hidayah. Dan hidayah, hanya diberikan kepada yang sungguh-sungguh. Inilah “jihad” dalam arti yang luas (QS Al-Ankabut: 69).
Komentar Terbaru