Pilih Laman

Di sedang serbuan horor yang makin melelahkan, Surga di Bawah Langit yang menonjolkan cii-ciri anak didalam kemasan musikal memang terasa menyegarkan. Sungguh, saya sahih-sahih inginkan menyukainya. Sayang, sebagai film musikal, Surga di Bawah Langit justru mencapai titik terlemah tiap ia menghadirkan adegan musikal.


Sebagai drama seputar hidup penduduk jelata yang agak menyerempet poverty porn, alurnya bukan menawarkan hal baru. Bayangkan Daun di Atas Bantal (1998) versi lebih mainstream, yang mengetengahkan kisah tiga bocah berasal dari tempat kumuh. Ayu (Neona Ayu) menghendaki mengikuti jejak sang ibu (Happy Salma) jadi penari meski mendapat tentangan, Agus (Muzakki Ramdhan) nekat mencopet demi menghidupi neneknya (Jajang C. Noer), sedangkan Laras (Keira Vanaya) melacak nafkah sebagai ojek payung walau punyai talenta bernyanyi.

Ketiganya rutin bercengkerama di atas tumpukan sampah Tpa, menunggu datangnya pelangi pasca hujan yang memancarkan secercah estetika didalam beratnya hidup mereka. Kalimat-Kalimat didalam naskah protesis Pritagita Arianegara, Rio Silaen, dan Rien Al Anshari (Penulis film pendek cool berjudul Membicarakan Kejujuran Diana) lebih terdengar layaknya perspektif naif berkaitan kemiskinan berasal dari orang dewasa bersama keadaan finansial mapan, tapi akting tiga pemeran utamanya menambal kekurangan itu.

Muzakki selalu dapat diandalkan untuk menghidupkan naskah seburuk apa pun (Di dalam hal ini ia ibarat “Reza Rahadian kecil”), Keira Vanaya tampil memadai natural, saat Neona Ayu memunculkan sensitivitas emosi yang matang melalui tutur katanya. Biarpun klise, Surga di Bawah Langit selalu nyaman diikuti tiap-tiap menampilkan hubungan tiga bocah itu. Tetapi bukan ketika mereka diharuskan bernyanyi dan menari.

Silahkan tonton disini : Download film gratis

 

 

Persoalan tidak di penampil, melainkan pengadeganan. Pritagita selaku pengarah adegan dan Nur Hidayat sebagai sinematografer muncul bersama tata kamera yang bukan cocok diterapkan di musikal. Alih-Alih membangun kesan bergerak maju, deretan shot tidak aktif justru dipakai, lengkap bersama dengan framing yang gagal menangkap keindahan koreografi tariannya (Yang juga bukan seberapa bagus).

Tidak benar satu nomor musikalnya memberi sorotan terhadap cii-ciri guru tarik melodi yang diperankan Rio Silaen (Menduduki posisi produser, penulis naskah, dan juga aktor, film ini merupakan vanity proyek-nya). Rio bernyanyi ditemani barisan penari latar bersama baju compang-camping, di suatu ruang gelap minim sentuhan keindahan, yang ditangkap bersama tata kamera seadanya. Adegan tersebut nampak bak suatu video klip murah.

Saya masih memaklumi penggunaan CGI buruk guna menyelipkan paksa iklan suatu merek keramik (Muncul dua kali), atau bagaimana Reza Rahadian, Acha Septriasa, dan Andien Aisyah yang menjadi jualan primer posternya (Memerankan versi dewasa trio cii-ciri primer) hanyalah muncul kira-kira 10 menit di babak akhir. Kekurangan yang sukar dimaklumi adalah, ketika sebagai musikal, Surga di Bawah Langit menyebabkan saya berharap adegan musikalnya dihilangkan.

Sempat tersedia asa filmnya menawarkan deduksi menyentuh selagi tiga pemeran seniornya menyanyikan Pelangi milik Chrisye, namun filmnya menampik berhenti. Keseluruhan tersedia 2-3 titik yang berpotensi menjadi epilog memuaskan, tapi Surga di Bawah Langit memilih dua “Encore” yang ulang menampilkan video klip murahan sebagai ending-nya. Pasti keduanya memposisikan sang produser sebagai sentral.